Sabtu, 11 Desember 2010

Ada "Penjajahan Baru di jagat Media"

Harapan kita bahwa Media TV bisa menjadi ranah publik untuk pembelajaran demokrasi, mencerdaskan bangsa, menumbuhkan etos kerja, dan etika masyarakat nampaknya cuma harapan kosong belaka. Ini bisa kita lihat dari program-program tayangan TV yang hampir seluruhnya cuma suguhan berita kerusuhan, tawuran, anarkhis yang mendorong tumbuhnya jiwa premanisme. Lucu-lucuan (anehnya banyak yang tidak lucu), iklan-iklan yang mendorong sifat konsumtif masyarakat bukannya mendorong sikap hemat dan kerja keras. Tayangan-tayangan tahayul, memedi, pocong dan kawan-kawannya yang membodohkan masyarakat.Tebak-tebakan tanpa mikir yang berhadiah jutaan yang mendorong sifat ingin jalan pintas tanpa kerja keras. Acara Infotainment penuh gosip yang tidak mendidik. Olah TKP rokonstruksi kejahatan/kekejaman yang diperlihatkan sampai detail ( bukankah ini sebenarnya hanya untuk konsumsi persidangan?) dan masih banyak program lainnya yang semuanya hanya membuat degradasi moral bangsa .



Kerusuhan Demo Mahasiswa Makasar ( Des 2010) - gb dari viva news

Mengapa bisa begitu??

Nah ini karena dibelakang media penyiaran, ada pengusaha penyiaran.
Pengusaha penyiaran inilah pemilik modal, dan memperlakukan media penyiaran ini bak industri untuk meraup untung yang se banyak-banyaknya.
Berinvestasi dibidang media, bukan hanya karena idealisme (masih untung kalau masih punya idealisme), tapi juga (malah terutama) , untuk berbisnis. Akibatnya, media menjadi ranah komersiil, tidak memikirkan dampaknya kepada masyarakat, yang penting bisa memberi keuntungan yang se banyak-banyaknya. Bahkan ada juga politik dibelakang media.

Padahal sebenarnya media bisa diibaratkan sebagai cermin masyarakat.
Bukan berarti hanya tempat melihat perwujudan diri kita, tetapi juga tempat dimana diharapkan bisa mendorong terjadinya pembentukan watak bangsa.

Jadi mestinya acara-acara TV sebagian besar adalah program-program yang bisa memberi pencerahan, dan pembentukan karakter bangsa.

Mengapa tidak begitu?

Disini patut dipertanyakan keberadaan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dan komitmennya.
Apa yang sudah dilakukan oleh KPI ?? Dan kenapa KPI tidak bertaring ??
Seberapa besar pemerintah memberi dukungan kepada KPI ??
Bagaimana tanggung jawab moral Depkominfo??
Dimana peran DPR disini?

Ternyata Reformasi tidak bisa merubah kekuasaan negara menjadi kekuasaan masyarakat/publik. Bahkan yang terjadi adalah persekongkolan antara kekuasaan negara dengan kekuasaan pasar. Bagaimana tidak ? Karena pemilihan pemimpin-pemimpin kita baik pilpres maupun pilkada menganut sistim pasar, dimana para pemodal kuatlah yanmg mampu berperan, dan akhirnya mempunyai kekuatan loby terhadap pemegang kekuasaan negara/pemerintahan.
Itulah kenapa salah satunya, dengan mudahnya KPI di kerdilkan.
Pada th 2004 keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) menghapus peranan KPI dalam menyusun PP Penyiaran, yang notabene sangat strategis untuk mewujudkan media menjadi kekuasaan publik.
Masih banyak persoalan-persoalan lainnya.

Mestinya masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, juga mahasiswa yang dianggap sebagai anggota masyarakat yang terdidik, harus ikut menyuarakan hal ini. Jangan malah mahasiswa melakukan perbuatan (anarkhis) ,yang tayang di televisi sebagai tontonan yang menyedihkan...
Kita harus peduli, karena kalau tidak kehancuran moral bangsa tak terelakkan lagi.

Nah, kalau ingin banyak tahu lagi benang ruwet masalah pertelevisian di Indonesia (termasuk jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas) ada buku yang mengupas tuntas media secara holistik dan cukup menarik yaitu berjudul :

KEBEBASAN SEMU karya Agus Sudibyo terbitan Kompas.




2 komentar:

  1. Neo-leberalisasi memang luarbiasa menarik seluruh aparatus regime Indonesia untuk bersama-sama memboyong proyek kapitalismenya.

    Dan media, merupakan pilar paling penting untuk menopang beroperasinya program besar mereka, melakukan penjarahan dan penghisapan resources masyarakat kita.

    Sudah pasti, masyarakat, yang notabene didominasi oleh orang kecil, semakin terjepit dan tergiring masuk dalam perangkap budaya yang inividualis dan konsumtif.

    Kehancuran memang sudah di depan mata ...

    BalasHapus
  2. @>mbak Yullinda :terimakasih komentarnya, dan memang betul sekali ya mbak, sendi-sendi kehidupan kita sudah banyak yang rusak....Dan pemimpinlah yang mestinya bertanggungjawab.

    BalasHapus